Sejarah Aceh 6 November Cut Nyak Dien


DALAM bilangan usia lebih setengah abad, perempuan ini masih tetap mengobarkan semangat juang kepada rakyat Aceh. Hidup berpindah-pindah di hutan agar terhindar dari serangan kaphe Belanda, tidak membuat ia harus bertekuk lutut kepada kaphe. Jangankan takluk, kata “menyerah” saja tidak pernah merasuki pikirannya. Kondisinya boleh saja dalam keadaan sakit karena usia yang sudah tua, tetapi hatinya keras bagai batu karang untuk menetang segala bentuk penjajahan. Matanya memang nyaris buta, tetapi hatinya masih terang melihat kampungnya dirampas, menyaksikan rumah Tuhan dibakar oleh serdadu-serdadu Belanda.

 “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu beribadah dibakarnya! Nama Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita melupakan budi si kaphe yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Petrik Matanasi (ed), 2008).

Namanya Cut Nya Dhien. Ia dilahirkan di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848. Kendati tercatat sebagai anak bangsawan, Cut Nyak tidak menikmati hidup kemewahan selayaknya putri bangsawan. Sejak lahir, ia sudah mengenal dunia perang. Sejak usia kanak-kanak, ia telah mengerti letusan senjata. Cut Nyak telah ditabalkan sebagai satu dari sekian perempuan Aceh yang tidak mengenal lelah, tidak mengenal air mata. Bahkan, saat suami pertamanya, Teuku Umar gugur,

Cut Nyak berpesan kepada putri tunggalnya, “Wanita Aceh pantang meneteskan air mata untuk seseorang yang mati syahid.” Ketegaran hatinya, kegigihan jiwanya, kekuatan imannya, semua itu membuat Belanda apoh-apah untuk menangkap Cut Nyak. Berbagai cara dilakukan kaphe Belanda demi mendapatkan Cut Nyak. Hanya sebuah pengkhianatanlah yang mampu membuat Cut Nyak tertangkap oleh Belanda.

 Dalam berbagai catatan sejarah dan telah difilmkan tercatat bahwa Pang Laôt-lah orang yang menyebabkan Cut Nyak tertangkap. Kendati alasan Pang Laôt karena iba melihat kondisi Cut Nyak, perempuan Aceh ini tetap menilai Pang Laôt sebagai pengkhianat. Akhirnya, hari ini, 6 November, menjadi hari penting bagi Aceh. Pada tanggal yang sama dengan hari ini, Cut Nyak berpulang ke Tuhan. Saat ditangkap dan dirawat di Banda Aceh, Cut Nyak masih berhubungan dengan beberapa pejuang Aceh yang tersisa sehingga Belanda tetap kewalahan. Belanda akhirnya mengasingkan Cut Nyak ke Sumedang. Ikon pahlawan perempuan Aceh ini gugur di pulau Jawa itu, 6 November 1908. Hari ini adalah sejarah tersebut, yang mesti diingat dan dirawat dalam hati para perempuan Aceh. Buktikan bahwa Cut Nyak tak pernah mati.

SUMBER

0 komentar:

Posting Komentar

 

Contact

https://twitter.com/TRM_Saputra